6A4

PR7

PR7

by Veni Fatmawati -
Number of replies: 14

Assalamualaikum silahkan upload atau mengerjakan praktikum nya

In reply to Veni Fatmawati

Re: PR7

by 1810301035 WULAN FRANSISCA -

Wa'alaikumussalam ibu, saya izin mengumpulkan tugas
Nama : Wulan Fransisca

NIM : 1810301035

Skenario 1

A. Patologi cedera TBI. 

Saat trauma terjadi, pertama sekali terjadi cedera primer oleh kerusakan mekanis yang dapat berupa tarikan, robekan dan atau peregangan pada neuron, akson, sel glia dan pembuluh darah. Cedera primer dapat bersifat fokal atau pun difus. Kebanyakan kasus cedera primer langsung menyebabkan kematian sel neuron. Cedera primer bersamaan dengan perubahan metabolik dan seluler memicu kaskade biokimia, menyebabkan gelombang sekunder atau cedera sekunder. Hal ini berlangsung dari menit-menit awal terjadinya proses trauma yang dapat berlangsung berhari-hari hingga berbulan-bulan dan menyebabkan neurodegenerasi, dan memperparah cedera primer.

Cedera sekunder merupakan penyebab utama meningkatnya tekanan intrakranial pada cedera otak traumatik, dimana terjadi edema pada jaringan otak. Cedera sekunder terjadi pada lokasi cedera dan jaringan sekelilingnya. 

Proses cedera sekunder terdiri dari:

- Eksitoksisitas, neuron yang rusak mengeluarkan glutamat ke ruang ekstraseluler dan menstimulasi reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDA) dan α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) berlebihan sehingga terjadi peningkatan radikal bebas dan nitrit oksida dan faktor transkripsi untuk kematian sel

- Stres oksidatif yang disebabkan oleh adanya akumulasi Ca2+ intraseluler di dalam mitokondria

- Disfungsi mitokondria, kerusakan oksidatif yang dimediasi oleh peroksida lemak menyebabkan terganggunya rantai transpor elektron dan pembentukan ATP sehingga memicu apoptosis sel

- gangguan pada sawar darah-otak, permeabilitas sawar darah-otak meningkat. Akibatnya molekul besar hingga leukosit dapat masuk ke jaringan otak dan menyebabkan tekanan osmosis jaringan otak meningkat

- Inflamasi, neuroinflamasi melibatkan sel imun, mikroglia, sitokin, faktor kemotaktik yang mengeksaserbasi kematian sel neuron.

B. Pemeriksaan

Pemeriksaan umum yang dapat dilakukan :

- Mengecek Vital Sign

- IPPA

- Menilai tingkat kesadaran pasien dengan GCS

- Pemeriksaan kognitif, memori, dan koordinasi

- Pemeriksaan sensorik dan refleks

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan :  

- Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah cedera.

- CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda neurologis fokal. CT scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan kemungkinan komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom subdural.

- Lumbal Pungsi

Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari saat terjadinya trauma

- EEG

Dapat digunakan untuk mencari lesi

 

C. Intervensi

Tujuan FT pada masa akut

• Memonitor level kesadaran dan tanda vital

• Manajemen status paru

• Manajemen status muskuloskeletal

Program Intervensi Fisioterapi

1. Komunikasi terapeutik

Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan tujuanbsaling memberikan pengertian antar fisioterapis dengan pasien. 

2. Positioning

Tujuan : Mencegah decubitus, tirah baring dan static pneumonia

Teknik : Fisioterapis mengajarkan dan memposisikan pasien melakukan perubahan posisi (terlentang,miring kiri dan kanan

3. Breathing Exercise

Tujuan : Meningkatkan ventilasi paru, meningkatkan kekuatan dan daya tahan serta koordinasi otot otot respirasi dan mepertahankan mobilitas chest

4. Passive exercise

Tujuan : Mempertahankan dan meningkatkan mobilitas sendi

5. Manajemen status muskuloskeletal

• Pada pasien tersebut disertai dengan adanya komplikasi muskuloskeletal yakni fraktur pada radius sinistra. Pasien perlu modalitas untuk memelihara ROM & panjang otot.

• Latihan pasif ROM kontroversial (30 menit/hari untuk mencegah pemendekan jaringan lunak, tetapi berlebihan menimbulkan Heterotrophic Ossification (HO)

• Latihan gerakan normal, gerakan aktif sedini mungkin begitu pasien dinyatakan stabil (BP & ICP stabil)


In reply to Veni Fatmawati

Re: PR7

by 1810301034 ROSDIANA -
Ijin mengumpulkan ibu

Rosdiana 1810301034 


Skenario Genap : Tn.X usia 30 tahun terserempet sepeda motor hingga terbentur aspal. Pasien tersebut oleh warga di bawa ke RS terdekat dan segera ditangani tim medis. Hasil radiologi adanya sumbatan dipembuluh darah yang menuju ke cerebrum.kondisi pasien pingsan.Dan fraktur pada radius sinistra. 


Pertanyaan: Jelaskan patologi cedera, pemeriksaan dan rencana penatalaksanaan fisioterapi pada pasien tersebut. 

Patologi : Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler . 

Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otat. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007). Hematoma epidural, juga disebut hematoma ekstradural, sejenis cedera kepala yang melibatkan perdarahan ke dalam ruang antara tengkorak dan dura mater, lapisan terluar dari struktur pelindung yang mengelilingi otak. Ini dapat terjadi ketika kekuatan traumatis yang diterapkan pada kepala cukup untuk menyebabkan deformitas tengkorak dan kerusakan pada arteri meningeal tengah yang mendasarinya. Tekanan darah tinggi yang berasal dari sirkulasi arteri menyebabkan dura mater terpisah dari tengkorak, menciptakan hematoma berbentuk lensa klasik yang dapat berkembang dengan cepat, memberikan tekanan yang signifikan pada otak. Ini adalah jenis cedera kepala yang relatif jarang tetapi sangat serius dan dapat menyebabkan kecacatan atau kematian yang signifikan. Pengenalan dini terhadap tanda-tanda peringatan dan perhatian medis yang cepat sangat penting untuk hasil yang baik. Tanda pertama cedera terjadi tak lama setelah benturan di kepala dan biasanya melibatkan perubahan kesadaran. Perubahan ini dapat menjangkau spektrum dari kebingungan ringan hingga kehilangan kesadaran total. Jika orang yang cedera tetap sadar, dia sering kali memiliki banyak tanda dan gejala yang biasanya terlihat pada gegar otak, seperti sakit kepala, mual, pusing, dan kurang koordinasi. Presentasi klasik dari hematoma epidural, bagaimanapun, melibatkan apa yang dikenal sebagai interval lucid. Setelah penurunan kesadaran awal, yang dapat berlangsung selama beberapa menit, orang yang cedera dapat meningkat secara signifikan atau bahkan sepenuhnya. Selama waktu ini, pemeriksaan fisik dapat dilakukan secara normal, dan orang yang cedera mungkin tampak tidak terpengaruh. Pada tahap ini, hematoma epidural masih cukup kecil untuk menjadi asimtomatik. Namun, saat ia mengembang, tekanan yang meningkat di dalam tengkorak menempatkan otak pada risiko, yang menyebabkan kembalinya gejala dengan cepat. Perluasan hematoma yang berkelanjutan kemudian dapat menyebabkan gejala progresif cepat, koma, dan bahkan kematian. Pemeriksaan : 

-Assesment Subyektif : Keluhan Utama, riwayar penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu 

-Assesment Obyektif : Vital Sign, Inspeksi, palpasi, perkusi, dan aukskultasi 

-Pemeriksaan Spesifik : Tingkat Kesadaran: GCS( Glasgow Cma Scale), Motorik Test, pemeriksaan sensorik dan Reflek Test, Pemeriksaan tonus otot dengan Asword Scale, Gangguan Activity Daily Living dengan Index Bartel. Pemeriksaan Penunjang : 

-Radiografi cranium Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah cedera.

-Computed Tomography (CT-Scan) Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah. Pemeriksaan CT-Scan segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda neurologis fokal. 

-Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

-Lumbal Pungsi Lumbal pungsi adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk penyakit yang berhubungan dengan otak dan sistem saraf tulang belakang. Prosedur dilakukan dengan mengambil cairan serebrospinal (CSF) yang terdapat pada selaput pelindung sistem saraf pusat. Sejumlah cairan serebrospinal akan diambil melalui jarum yang disuntikkan pada bagian bawah tulang belakang (area lumbar) untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari saat terjadinya trauma. Penatalaksanaan (intervensi) Fisioterapi :

1. Komunikasi terapeutik Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan tujuanbsaling memberikan pengertian antar fisioterapis dengan pasien. 

2. Positioning Tujuan : Mencegah decubitus, tirah baring dan static pneumonia Teknik : Fisioterapis mengajarkan dan memposisikan pasien melakukan perubahan posisi (terlentang,miring kiri dan kanan) 

3. Breathing Exercise Tujuan : Meningkatkan ventilasi paru, meningkatkan kekuatan dan daya tahan serta koordinasi otot otot respirasi dan mepertahankan mobilitas chest 

4. Passive exercise Tujuan : Mempertahankan dan meningkatkan mobilitas sendi 

5. Manajemen status musculoskeletal  Pada pasien tersebut disertai dengan adanya komplikasi muskuloskeletal yakni fraktur pada radius sinistra. Pasien perlu modalitas untuk memelihara ROM & panjang otot. 

-Latihan pasif ROM kontroversial (30 menit/hari untuk mencegah pemendekan jaringan lunak, tetapi berlebihan menimbulkan Heterotrophic Ossification (HO) 

-Latihan gerakan normal, gerakan aktif sedini mungkin begitu pasien dinyatakan stabil (BP & ICP stabil)

In reply to Veni Fatmawati

Re: PR7

by 1810301039 SITI AZIZAH -

Waalaikumsalam baik bu, 

maaf ibu izin mengupulkan tugas

Nama : Siti Azizah

NIM : 1810301039

Kelas : 6a4

Skenario NIM gasal

Seorang remaja usia 17 tahun mengalami kecelakaan tunggal pada dini hari. Lalu di bawa ke RS terdekat di lakukan pemeriksaan secara umum dan radiologi di dapat adanya epidural hemotoma.Kesadaran koma.Disertai fraktur pada 1/3 tibia dextra.

Pertanyaan

Jelaskan patologi cedera, pemeriksaan dan rencana penatalaksanaan fisioterapi pada pasien tersebut.

Patologi cedera 

Epidural Hematoma (EDH) adalah hematoma di ruang potensial antara tabula interna tulang kalvarium dan duramater.

Pada perlukaan kepala, dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri.

Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan dura mater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi buka fraktur tulang tengkorak di daerah yang bersangkutan. Hematom pun dapat terjadi di daerah frontal dan oksipital.

Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur.Akibat trauma kapitis,tengkorak retak.Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear.Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak.

Penatalaksanaan Fisioterapi

Assessment subyektif

Dikarenakan pasien dalam keadaan coma maka Assement dilakukan dengan cara hetero anamnesis. Heteronanamnesis merupakan suatu proses tanya jawab yang dilakukan dengan orang lain (keluarga ataupun orang yang mengetahui tentang perjalanan penyakit pasien).

Assessment obyektif

Vital sign

Tekanan darah

Denyut nadi

Suhu

IPPA

Pemeriksaan spesifik

- Glasgow Coma Scale

Glasgow Coma Scale atau GCS adalah skala yang dipakai untuk mengetahui tingkat kesadaran seseorang.

- Tes motorik,

- Asworth scale

Asworth scale adalah skala untuk mengetahui derajat tonus otot,

- Indek bartel

Indeks Barthel merupakan suatu alat ukur pengkajian yang berfungsi mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas dengan sistem penilaian yang didasarkan pada kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri.

Pemeriksaan penunjang

- EEG 

Dilakukan untuk menilai aktivitas listrik yang terjadi pada 

- Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

- Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

Treatment awal surgical/non surgical

- Adequate jalan udara, Respiratory care

- Adequate profusion,

- Pemeriksaan tingkat kesadaran dan gejala neurovital

- Pemeriksaan dan pengobatan systemic injury

- Pengaturan temperature

- Perawatan bladder & bowel

- Perawatan kulit dan mata

- Monitoring aktifitas seizure

- Positioning & turning tiap 2 jam

- Positioning & ROM

- Pencegahan thrombophlebitis

- Penggunaan limb restraints

Penatalaksanaan FT pada fraktur 1/3 tibia dextra.

Pemeriksaan :

- Rontgen dengan tujuan untuk menentukan lokasi / luasnya fraktur / trauma.

- Scan tulang (fomogram, scan CT / MRI) untuk memperlihatkan fraktur dan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.

- Pemeriksaan nyeri, pemeriksaan oedem, pemeriksaan kekuatan otot, pemeriksaan LGS, dll.

Intervensi pada fraktur 1/3 tibia dextra yaitu :

A) Tindakan non operatif :

- Reduksi

Reduksi adalah terapi fraktur dengan cara mengantungkan kaki dengan tarikan atau traksi.

- Imobilisasi

Imobilisasi dengan menggunakan bidai. Bidai dapat dirubah dengan gips, dalam 7-10 hari, atau dibiarkan selama 3-4 minggu.

- Pemeriksaan dalam masa penyembuhan Dalam penyembuhan, pasien harus di evaluasi dengan pemeriksaan rontgen tiap 6 atau 8 minggu. Program penyembuhan dengan latihan berjalan, rehabilitasi ankle, memperkuat otot quadrisep  yang nantinya diharapkan dapat mengembalikan ke fungsi normal.

B) Tindakan operatif :

A. Intermedullary Nailing

B. Ring Fixator

C. ORIF (open reduction with internal fixation)

D. OREF (open reduction with external fixation)

E. fiksasi internal standar 

Intervensi

- Positioning

- Splinting/casting

- Prolong passive stretch

- Pasif exercise